A.
Pengertian Anak
Berkebutuhan Khusus
Istilah
anak dengan kebutuhan khusus ditujukan pada segolongan anak yang memiliki
kelainan atau perbedaan sedemikian rupa dari anak rata- rata normal dalam segi fisik,
mental, emosi, sosial atau gabungan dari ciri- ciri itu dan menyebabkan mereka
mengalami hambatan untuk mencapai perkembangan yang optimal sehingga mereka
memerlukan layanan pendidikan khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal.
Anak yang memiliki kelainan tetapi tidak memiliki hambatan dalam mencapai
perkembangannya maka tidak termasuk kategori anak dengan kebutuhan khusus,
sebab mereka masih dapat mengikuti pendidikan umum dan dapat berkembang secara
normal tanpa hambatan serius. Dengan demikian istilah anak dengan kebutuhan
khusus karena kekurangannya ditujukan pada anak- anak yang membutuhkan program
pendidikan yang khusus sesuai dengan kebutuhannya.
Samuel
A Kirk dan James J. Gallagher yang diterjemahkan oleh Muhamad Amin dan Yusuf
Kusumah (1989:3) mendefiniskan anak berkebutuhan khusus atau anak berkelainan
adalah anak yang berbeda dari rata- rata anak normal dalam beberapa hal :
b.
Kemampuan panca indera
Perbedaan
itu haruslah sampai pada tingkatan tertentu sehingga anak tersebut membutuhkan
praktek sekolah yang dimodifikasikan atau pelayanan pendidikan khusus untuk
mengembangkan kemampuannya yang tinggi dan maksimum
Anak-
anak yang memiliki kelainan secara edukatif dikategorikan sebagai anak
berkebutuhan khusus bilamana kelainannya itu menyebabkan perlunya mengubah
program pendidikan untuk menyesuaikan dengan kebutuhannya. Mereka memerlukan layanan pendidikan yang berdeferensiasi
dari pendidikan anak- anak biasa/normal, baik dalam metode, alat, materi,
startegi dan sebagainya, sesuai dengan jenis dan derajat kelainannya. Jadi
kelainan yang dimaksudkan dalam pengertian ini adalah penyimpangan yang cukup
berarti/signifikan dari teman-temannya.
Pengertian anak dengan kebutuhan khusus mencakup anak- anak yang memiliki
kelebihan atau keunggulan dari anak- anak normal (jenius, gifted and
talented) dan anak-anak yang memiliki kekurangan dari anak- anak normal.
Namun dalam
kehidupan sehari- hari tidak mudah bagi kita untuk memilah secara eksak antara
anak unggul, normal, dan kurang (cacat) sebab dalam kenyataannya ada anak cacat
tetapi juga memiliki keunggulan dan mampu meraih prestasi melebihi anak yang
normal. Helan Keller misalnya, selain tunanetra dia juga tunarungu tetapi dia
juga jenius. Melalui layanan pendidikan khusus dia mampu menunjukkan
kejeniusannya dan meraih gelar doktor. Dalam diri anak- anak cacat juga ada
kenormalan, sehingga ini menjadi modal untuk mereka untuk layak atau kehidupan
secara normal di masyarakat tanpa harus bergantung kepada orang lain, bahkan
tidak sedikit anak cacat yang berhasil meraih sukses mengalahkan anak- anak
yang normal (Sunaryo(2011):1).
B.
Intervensi Dini Anak Berkebutuhan Khusus
1.
Pengertian
Intervensi Dini
Istilah intervensi berasal dari bahasa Inggris “intervention” yang
berarti suatu penanganan, layanan, atau tindakan “campur tangan”. Intervensi
ini dimaksudkan untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam rangka mencapai
perkembangan optimal.
Fallen & Umansky (dalam Sunardi, 2007:27) menegaskan
bahwa intervensi merujuk pada layanan tambahan atau modifikasi, strategi,
teknik, atau bahan yang diperlukan untuk merubah perkembangan yang terhambat.
Sedangkan istilah dini berarti awal, yaitu usia awal. Berdasarkan pengertian
diatas, intervensi dini dapat mengandung dua makna : (1) penanganan atau
tindakan campur tangan yang dilakukan kepada anak pada usia dini atau pada
tahap perkembangan awal, yaitu pada usia 0-5 tahun, balita, atau usia
prasekolah, dan (2) penanganan atau tindakan campur tangan yang dilakukan
seawall atau sesegera mungkin setelah diketahui adanya suatu permasalahan atau
sebelum sesuatu yang dikhawatirkan bakal terjadi.
Kusnadi (dalam Sunardi, 2007:27) menjelaskan bahwa
intervensi dini adalah kegiatan untuk merangsang kemampuan dasar anak,
dilakukan pada anak dengan keterlambatan perkembangan dengan maksud mengejar
ketertinggalan atau agar penyimpangan yang terjadi tidak bertambah berat, serta
dapat melakukan kegiatan sehari-hari sesuai seusinya.
Baker & Brightman (dalam Sunardi, 2007:27)
menjelaskan bahwa intervensi dini adalah tindakan yang diberikan untuk
mempengaruhi perkembangan dan belajar anak sejak lahir sampai dengan usia 5
tahun yang mengalami kelainan atau keterlambatan perkembangan atau anak-anak
dengan factor resiko baik factor biologis maupun lingkungan. Intervensi dini
meliputi system, layanan, dan pendukung yang sengaja dirancang untuk
meningkatkan perkembangan anak, memperkecil potensi terjadinya kelambatan
perkembangan dan kebutuhan untuk memperoleh layanan pendidikan khusus, dan
meningkatkan kapasitas para keluarga dan pengasuh.
Greco,V & Leonard,D (dalam Sunardi, 2007:30)
menyatakan intervensi dini merupakan program yang sengaja didesain untuk
mengoptimalkan pengalaman belajar anak selama periode perkembangan yang paling
krusial, yaitu pada masa awal perkembangan. Karena pada masa ini diasumsikan
bahwa lebih awal mereka diidentifikasi dan memperoleh pendidikan, akan lebih
besar kesempatan untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh negative dari kondisi
kecacatannya, baik terhadap anak sendiri maupun terhadap masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa intervensi
dini adalah suatu program layanan khusus yang sengaja dirancang untuk anak-anak
berkebutuhan khusus usia balita dalam rangka mengoptimalkan perkembangannya,
mencegah atau memperkecil potensi terhadap terjadinya kelambatan perkembangan
dan kebutuhan untuk memperoleh layanan pendidikan khusus, dan meningkatkan
kapasitas para keluarga dan pengasuh.
Intervensi dini anak berkebutuhan khusus merupakan
sekenario untuk meningkatkan kesiapan anak untuk memasuki sekolah, baik
kesiapan fisik, psikologis, maupun social, terutama untuk mengikuti program
pendidikan di sekolah regular melalui program pendidikan inklusif disamping
diharapkan mampu berdampak pada peningkatan mutu pendidikan juga dalam rangka
wajib belajar Sembilan tahun.
Dalam realitas dunia pendidikan kita, kesadaran
masyarakat untuk melakukan intervensi dini dari tahun ke tahun semakin
meningkat, hal ini ditandai dengan semakin maraknya klinik-klinik intervensi
dini di berbagai penjuru kota, namun secara umum masih sangat memprihatinkan
karena masih terbatas pada golongan ekonomi menengah ke atas dan terutama di
kota-kota besar, sehingga masih tergolong eksklusif. Untuk itu, masalah
intervensi dini perlu terus digalakkan pemasyarakatannya, terutama untuk
anak-anak berkebutuhan khusus. Mengingat kelompok anak ini sangat rawan,
rentan, atau memiliki resiko tinggi terhadap munculnya hambatan atau gangguan
dalam belajar atau perkembangan sebagai dampak dari kebutuhan khususnya.
Intervensi dini sebaiknya tidak dibatasi oleh tembok-tembok kelas, sehingga
pelaksanaannya dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja. Penyelenggaranya
pun dapat dilakukan oleh individu, keluarga, dan masyarakat.
2.
Hambatan
yang perlu dipahami dalam Intervensi Dini
Terdapat tiga
hambatan yang perlu dipahami dalam intervensi dini, yaitu :
Hambatan
belajar meliputi:
a.
Kesenjangan
antara prestasi nyata dengan potensi yang dimilikinya
b.
Gangguan
dalam proses belajar, termasuk proses pendengaran, penglihatan, dan perabaan.
Selain itu proses ketrampilan khusus seperti membaca, menulis, dan berhitung
atau fungsi transmisi dari persepsi, integrasi dan ekspresi baik verbal maupun
non verbal.
c.
Hambatan
tersebut terjadi karena sebab-sebab langsung ataupun tidak langsung dari adanya
hambatan dalam penglihatan, pendengaran, motorik, keterbelakangan mental,
gangguan emosional, kemiskinan lingkungan, budaya, dan ekonomi. Kondisi-kondisi
tersebut dapat berdampak pada belum dimilikinya prasyarat yang diperlukan dalam
belajar, sehingga menjadikannya tidak adanya kesiapan untuk belajar sesuatu.
d.
Akibat dari hambatan belajar akan
berdampak luas pada kehidupan psikologis, social, emosional, akademik atau
dalam kehidupan sehari-hari.
Hambatan belajar merupakan manifestasi terjadinya
kegagalan individu dalam memproses informasi atau dalam mencapai prestasi
tertentu yang memuaskan, sebagai akibat dari factor internal ataupun eksternal.
Sebagai gambaran pengaruh dari factor internal,
Gaddes(Small, 1992) berdasarkan hasil pemeriksaan neurologis terhadap anak
berkesulitan belajar menemukan disfungsi lubus frontal dapat berpengaruh
terhadap munculnya hambatan dalam ekspresi verbal, menyusun serial, ingatan
jangka pendek, koordinasi motorik, proses visual, dan kemampuan melakukan
perubahan mental secara cepat. Gangguan pada lobus temporal kiri berpengaruh
terhadap munculnya hambatan dalam persepsi auditori, pemahaman bicara, asosiasi
verbal dan ingatan cerita. Sedangkan gangguan lobus temporal kanan berpengaruh
terhadap munculnya hambatan dalam persepsi ruang, pemahaman gambar, dan
ketrampilan music. Gangguan pada lobus parietal berakibat pada munculnya
hambatan dalam pemahaman bentuk rabaan, lokalisasi jari, pemahaman arah, dan body
image. Gangguan pada lobus parietal bagian kiri umumnya berasosiasi dengan
hambatan belajar khusus dalam membaca, dan gangguan pada lobus parietal kanan
berkorelasi dengan hambatan dalam persepsi visual-spatial.
Hambatan belajar pada anak berkebutuhan khusus antara
lain hambatan belajar ketrampilan motorik, bahasa, kognitif, persepsi, emosi,
dan perilaku adaptif. Pada anak-anak yang mengikuti pendidikan di sekolah,
hambatan belajar dapat ditinjau dari aspek kemampuan akademiknya seperti
hambatan belajar membaca, menulis, dan berhitung.
Hambatan belajar, baik dalam aspek fisik-motorik,
kognitif, bahasa, sensoris dan persepsi, emosi maupun perilaku adaptif
seringkali muncul sejak usia pra-sekolah, dan jika tidak segera ditangani akan
member dampak negative dan luas dalam kelangsungan belajar mereka di kemudian
hari. Terakumulasinya hambatan belajar yang terjadi, seringkali didukung oleh
situasi lingkungan, terutama lingkungan keluarga yang kurang menguntungkan
anak. Misalnya, orang tua yang
cenderung menekankan aspek belajar pada segi kognitifnya saja tanpa
memperdulikan aspek lain(materi belajar kurang sesuai dengan kebutuhan dan
kompetensi anak).
Hambatan perkembangan pada anak berkebutuhan khusus
dapat terjadi apabila dalam keseluruhan atau sebagian interaksi antara anak
berkebutuhan khusus dengan lingkungan tidak berlangsung secara positif. Dengan kata lain interaksi yang terjadi tidak berlangsung
dalam proses yang saling menguntungkan dan fungsional bagi perkembangan anak
berkebutuhan khusus. Tidak fungsional artinya lingkungan tersebut tidak mampu
menyediakan layanan intervensi yang mampu memberikan kemudahan, kesempatan atau
peluang, stimulasi atau dorongan, dan keteladanan bagi perkembangan fitrah,
potensi, atau kompetensi pribadi anak berkebutuhan khusus secara bermakna.
Munculnya hambatan perkembangan pada anak, khususnya usia dini, sebagai hasil
interaksi yang tidak positif antara anak berkebutuhan khusus dengan lingkungannya
tersebut dapat termanifestasi dalam salah satu atau lebih aspek perkembangan,
meliputi perkembangan fisik-motorik, kognitif, bicara dan komunikasi, emosi dan
social, serta perkembangan perilaku adaptif.
Peranan lingkungan
yang terdekat dari anak berkebutuhan khusus adalah lingkungan keluarga.
Pemahaman perilaku dan perkembangan anak harus dilakukan melalui apresiasi
terhadap keluarganya. Atas dasar ini, dalam rangka membantu mengatasi
permasalahan mendasar yang dihadapi anak berkebutuhan khusus, yaitu hambatan
belajar dan hambatan perkembangannya, orang tua dituntut untuk berbuat sebaik
dan seoptimal mungkin sesuai dengan kebutuhan spesifik anak.
Keberhasilan
keluarga dalam membantu mengatasi hambatan belajar dan perkembangan anak
berkebutuhan khusus sangat tergantung pada bagaimana kemampuan keluarga
tersebut dalam menata dan mengembangkan tiga komponen utama ekologi belajar
sebagai suatu keutuhan sehingga keberfungsiannya dapat dijadikan sebagai wahana
yang mampu memberikan kemudahan bagi perkembangan fisik, psikologis, social,
emosional, akademik, dan totalitas kepribadian anak. Ketiga komponen tersebut adalah;
a. Struktur kesempatan, yaitu sejumlah situasi yang
sengaja diciptakan sehingga memungkinkan anak berkebutuhan khusus dapat mencoba
dan belajar mengembangkan tingkah laku baru menuju kea rah keberhasilan dan
kesuksesan.
b. Struktur dukungan atau transaksi, yaitu seperangkat
kemampuan atau kegiatan orang tua untuk mengembangkan diri dan memanfaatkan
secara maksimal seluruh anggota keluarga dan orang-orang lain yang kompeten
untuk mendukung upaya pemenuhan kebutuhan spesifik anaknya guna menunjang
optimalisasi keberhasilan belajar dan perkembangannya.
c.
Struktur
ganjaran, yaitu pentingnya pemberian penghargaan dari lingkungan tepat dan
bermakna bagi keberhasilan belajar anak.
3. Sasaran Intervensi Dini
Sasaran utama intervensi dini adalah anak-anak
berkebutuhan khusus dibawah lima tahun, yang meliputi :
a.
Anak-anak
denganfaktor resiko, yaitu individu-individu yang memiliki problem dalam
perkembangannya yang dapat berpengaruh terhadap
kemampuan belajar selanjutnya. Termasuk dalam kelompok ini misalnya
anak-anak yang lahir dari keluarga miskin, lahir premature, kurang gizi,
penderita penyakit kronis.
b.
Anak
denga kelambatan perkembangannya, yaitu individu-individu yang akibat kondosi
fisik atau mentalnya dapat berpengaruh atau menghambat perkembangan kemampuan,
prestasi, dan atau fungsinya pada saat anak masuk dalam setting pendidikan
bersama-sama anak normal pada umumnya.
c.
Anak-anak
dengan kelainan pasti, yaitu individu-individu secara nyata telah mengalami
hambatan atau gangguan dalam perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak
normal pada umumnya.
Ditinjau dari aspek tumbuh kembang, yang menjadi sasaran
utama intervensi dini adalah aspek perkembangannya. Menurut Kusnadi, aspek
perkembangan tersebut mencakup aspek perkembangan gerak kasar, gerak halus,
berbicara, bahasa, dan kecerdasan, serta kemampuan bergaul dan mandiri.
Sedangkan menurut IDEA (the Individuals with Disabilities Act) ruang
lingkup intervensi dini mencakup aspek perkembangan fisik,kognitif, komunikasi,
social atau emosional, dan perilaku adaptif.
4. Tujuan dan Manfaat Intervensi Dini
Secara umum tujuan intervensi dini adalah untuk
membantu anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai kapabilitasnya,
mendorong dan membantu orang tua dalam mengembangkan anaknya serta mengatasi
masalah-masalah psikologis social yang muncul, serta memaksimalkan manfaat anak
dan keluarga dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Kofi Marfo, tujuan utama
intervensi dini pada anak berkebutuhan khusus adalah untuk mengoptimalkan
perkembangan anak.
Baker & Feinfield(dalam Sunardi & Sunaryo,
2007:32) menyatakan hasil yang diharapkan dari intervensi dini adalah agar anak
mampu mengembangkan keberfungsian kemampuan kognitif, emosional, perilaku,
komunikasi, dan social dengan baik, sedangkan bagi orang tua diharapkan dapat
memperoleh keuntungan dalam meningkatkan kehidupannya, pengajaran dan
pengasuhan, serta dalam perawatan kesehatan anaknya.
Layanan intervensi dini memberikan manfaat yang
signifikan bagi orang tua dan keluarganya. Orang tua dapat meningkatkan sikap,
baik terhadap dirinya sendiri maupun kepada anaknya, meningkatkan pemahaman dan
ketrampilan pendukung yang diperlukan dalam mendidik dan mengasuh anaknya,
terutama dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya. Selain itu, perkembangan
anak juga akan lebih meningkat, mencegah gangguan atau hambatan dalam perkembangan
berikutnya, mampu memperoleh pendidikan yang lebih baik, dan pada akhirnya
mampu meningkatkan kemandirian dan konsep dirinya, sehingga anak tidak
bergantung pada lingkungannya.
Intervensi dapat dipandang sebagai bentuk investasi
jangka panjang, karena dapat menghemat biaya pendidikan yang dibutuhkan
berikutnya. Melalui pencegahan dan reduksi terhadap hambatan belajar secara
tepat memungkinkan anak tidak memerlukan layanan pendidikan khusus dan layanan
lain di kemudian hari.
1.
Jelaskan latar belakang perlunya pendidikan anak berkebutuhan kusus?
2.
Jelaskan pengertian
anak berkebutuhan kusus?
3.
Beri contoh anak berkebutuhan khusus!
4.
Jelaskan
pengertian intervensi dini anak berkebutuhan khusus?
5.
Sebutkan dan jelaskan tujuan dan manfaat intervensi dini anak
berkebutuhan khusus?